Pages

Kamis, 12 Juni 2014

Imunodefisiensi


Imunodefisiensi merupakan defek pada salah satu atau lebih komponen imunitas tubuh yang dapat menimbulkan gejala klinis, bahkan sampai mengancam nyawa. Terdapat beberapa karakteristik utama imunifefisiensi, yaitu memiliki hasil akhir berupa peningkatan suspektibilitas terhadap infeksi peningkatan suspektibilitas terhadap kanker, peningkatan insidens autoimunitas, dan disebabkan oleh defek maturasi/aktivasi limfosit. Imunodefisiensi dapat dibagi menjadi kelainan imunodefisiensi primer yang hampir selalu ditentukan oleh faktr genetik, dan imunodefisiensi sekunder, yang dapat muncul sebagai komplikasi dari kanker. Infeksi, malnurtisi, atau efek samping imunsupresan, radiasi, atau kemoterapi.
1.      Imunodefisiensi primer
Sebagian besar penyakit imunodefisiensi primer ditentukan secara genetik dan mempengaruhi bagian humoral dan/atau seluler dari imunitas adaptif (dimediasi oleh sel limfosit B dan T), atau juga mempengaruhi mekanisme defensif dari imunitas bawaan (Sel NK, fagosit atau komplemen). Defek pada imunitas adaptif umumnya disubklasifikasikan pada komponen yang terutama terkati (Sel B/T/keduanya)/ akan tetapi, pembagian ini masih kurang jelas karena adanya keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain yang menyebabkan antar komponen menjadi sulit. Walau umumnya dianggap cukup jarang, bentuk ringan dari imunodefisiensi ini bermanifestasi pada usia bayi (6 bulan – 2 tahun) dan terdeteksi karena bayu mengalami infeksi rekuren.
Bruton’s Agammaglobulinemia
Kelainan ini ditandai oleh kegagalan preukursor Sel B (Sel pre-B dan Pro-B). Berkembang menjadi sel B matur. Hal ini disebabkan oleh adanya defek padagen kromosom x (q21.22) yang mengkode tirosin kinase sitoplasma yang bernama Bruton tyrosine kinase (Btk). Btk dibutuhkan sebagai suatu signal transducer dalam rearragemen dari light-chain imunoglobulin segihngga komponen yang dibutuhkan untuk maturasi sel B lengkap. Penyakit ini palig sering ditemukan pada pria, walau terdapat kasus sporadik pada wanita. Penyakit ini mulai terlihat pada usia 6 bulan setelah imunoglobulin maternal mulai habis ditandai dengan adanya infeksi rekuren pada saluran pernafasan, terutama oleh Haemophilius influenzae, Streptococcus pnemoniae, atau staphylococcus aureus. Infeksi giardia lablia juga dapat menjadi tanda dari keberadaan penyakit ini. Karakteristik utama dari penyakit meliputi: Absennya sel B di sirkulasi, serta penurunan level semua imunoglobulin di serum, Kurang berkembangnya nodus limfa, Peyer’s patches, appendiks dan tonsil, Absennya sel plasma di selurruh tubuh. Umumnya penyakit ini diatasi dengan pemberian replacemen therapy erupa imunoglobulin.
Common Variable Immunodeficiency
Sesungguhnya CVI merupakan kumpulan dari berbagai penyakit yang memilikibeberapa kesamaan fitur pada pasien, yaitu hipogammaglobulinemia, yang umumnya mempengaruhi semua kelas antibodi tetapi dapat juga hanya menyerang igG. Diagnosis CVI didapatkan setelah mengekslusikan penyakit lain. Belum ditemukan pola penurunan pada CVI yang familial. Berbeda dengan bruton’s agammaglobulinemia, level sel B pada darah dan sel limfoid berada pada level mendekati normal, akan tetapi mereka tidak dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma, diduga karena adanya mutasi pada beberapa molekul seperti ICOS atau BAFF. Manifestasi klinis dari penyakit ini menyerupai briuton’s agammaglobulinemia.
Isolated IgA Deficiency
Imunodefisiensi primer ini cukup sering ditemukan, terutama pada ras kaukasian. Seseorang dengan kondisi ini akan memiliki level igA yang rendah diserum dan yang disekreksikan. Penyebab dapat disebabkan genetik maupun infeksi karena toksoplasma, measles virus atau infeksi virus lain. Sebagian besar orang dengan penyakit ini tidak memunculkan simptom, akan tetapi karena IgA berpengaruh pada imunitas pada mukosa, terdapat kemungkinan lebih tinggi dalam terkena infeksi di traktus respirasi, gastrointestinal dan urogenital. Defisiensi IgA ini disebabkan oleh kegagalan diferensiasi limfosit B naif menjadi sel penyekresi IgA oleh karena penyebab yang belum diketahui.
d.      Hyper-IgM Syndrome
Pada sindrom ini, pasien dapat memproduksi IgM tetapi mengalami defisiensi produksi IgG, IgA dan IgE. Hal ini menyebabkan efek pada aktifitas respon imun oleh sel T helper, dimana maturasi sel B dalam menyekresikan imunoglobulin berbeda akan terhambat. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode CD40L pada lokus X126. Secara klinis, seseorang dengan penyakit ini mengalami infeksi bakteri piogenik rekuren, serta memiliki suspektibilitas terhadap pneumonia yang tinggi.
e.       DiGeorge Syndrome
Sindrom Digeorge merupakan suatu kondisi dimana terjadi defisiensi sel T karena kegagalan perkembangan pharyngeal pouch ketiga dan keempat yang berkaitan dengan perkembangan timus, paratiroid dan sebagian sel-sel tiroid. Hal ini menyebabkan munculnya beberapa tanda sindrom ini, yaitu menurunnya level sel T, tetanus, dan defek jantung kongenital. Tampakan wajah, mulut, dan telinga menjadi abrnormal. Sindrom ini disebabkan karena delesi gen pada kromosom 22q11.
f.       Severe Combined Immunodeficiency
Penyakit ini meruakan gabungan dari beberaa sindrom yang memiliki defek umum baik pada imunias humoral dan seluler. Umumnya bayi yang terkena sindrom ini megalami kandidiasis oral, diaper rash dan kegagalan berkembang. Mereka juga sangat mudah terkena infeksi rekuren dan berat oleh banyak patogen, termasuk Candida albicans, P. Jiroveci dan Pseudomonas. Bentuk yang paling sering adalah yang disebabkan oleh defek kromos X, dimana terjadi mutasi gamma-chain reseptro sitokin yang mengkode interleukin. Bila terjadi defeek, maka bahkan mulai dari perkembangan limfosit pun akan terpengaruh. Sebagian besar kasus SCI lainnya diturunkan secara autosomal resesif, seperti pada defisiensi  enzim ADA (Adenosine deaminase) yang menyebabkan limfosit T imatur. Pilihan penatalaksanaan utamanya berupa transplantasi sumsum tulang.
g.      Wiskott-Aldrich Syndrome
Sindrom ini merupakan sindrom X-linked yang ditandai dengan trombistopenia, eksema, dan vulnerabilitas terhadap infeksi rekuren sehngga menyebabkan kematian dini. Terdapat deplesi limfosit T secara sekunder didarah perifer dan nodus limfe, dengan ketiadaan antibodi untuk polisakrida serta level IgM yang menurun. Sindrom ini disebabkan oleh mutasi gen WASP pada lokus p11.23
h.      Genetik Deficiencis of the complemen system
Umumnya defisiensi komplemen disebabkan oleh faktor genetik. Defisiensi komplemen yang paling sering adalah defisiensi komplen C2, akan tetapi efeknya lebih kepada peningkatan suspektibilitas seseorang terhadap penyakit autoimun. Terhadap infeksi rekuren bakeri piogen. Defisiensi  C5-9 menyebabkan adanya peningkatan kemungkinan infeksi Neisseria karena efek litik C-5-9. Defek pada inhibito komplemen C1 menyebabkan terjadnya angioedemapada kulit dan permukaan bermukosa.
2.      Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi sekunder dapat dijumpai pada individu dengan berbagai kondisi. Penyebab yang paling sering aalah virus HIV. Secara umum, immunodefisiensi sekunde disebabkan oleh dua mekanisme utama, yaitu imunosupresi yang muncul akibat kompliasi dari penyakit atau keadaan lain, dan imunodefisiensi iatrogenik yangmuncul sebagai efek samping dari suatu terapi atau perlakuan lain.
-          Malnutris adalah penyakit atau keaaan yang dapat menyebabkan imunodefisiensi meliputi:
Malnutrisi protein-kaliri sering ditemuan di negara berkembang dan siassiasikan dengan gangguan imunitas selular dan hunooral pada mikroorganisme yang disebabkan oleh ngangguan proses metabolik tubuh. Gangguan ini dikarenakan efisiensi komsumsi potein, lemak, vitamin, dan mineral dan akan mempengaruhi maturasi serta fungsi dari sel-sel imun.
a.       Kanker
Pasien dengan kanker yang telah menyebar luas umumnya sudah terinfeksi mikroorganismekarena defek pada respons imun humoral dan selular. Tumor bone marrow dan leukimiayang muncul di sumsum tulang belakang dapat mengganggu pertumbuhan limfosit dan leukosit normal. Selain itu, tumor dapat memproduksi suubstansi yang menghambat perkembangan atau funsi limfosit, seperti padda penyait Hodgkin. Dapat pula terjadi anergi, yaitu suatu kondisi dimana sistem imun tidak dapat menginduksi respon imun terhadap antigen.
b.      Infeksi
Ineksi selain HIV, infeksi lain juga dapat menyebabkan respon imuun contohnya pada virus measledan HTLV-1 (Human T-cell Lympothropik virus-1) yang kduanya menginfeksi limfosit. HLTV merupakan retrovirus mirip HIV, akan tetapi HTLV-1 bekerja dengan mengubah sel T helper menjadi sel T menyebabkan infeksi opotunistik. Selain infeksi kronik Mycobacterium tuberculosis, berbgai jenis fungi dan berbagai jenis parasit juga dapat menyebabkan imunosupresi. 
c.       Pemberian obat
Beberapa obat diberikan untuk menyupresi respon imun, seperti koortikosteroid dan siklosporin. Selain itu, kemoterapi pada penderita kanker juga memiliki efek samping berupa imunosupresi berupa efek sitotoksik pada limfosit selama beberapa saat, sehingga pasien kanker yang baru menjalani kemoterapi akan mengalami satu periode dimana dia akan lebih mudah terinfeksi oleh suatu mikroorganisme.
d.      Pengankatan Lien

Seseorang yang mengalami pengangkatan lien sebagai terapi karena trauma atau kondisi hematologi dapat menyebabkan adanya pengingkatan suspektibilitas terhadap infeksi, terutama bakteri encapsulated seperti streptococcus pneumoniae. Hal ini disebabkan oleh defek klirens mikroba teropsonisasi didarah yang semestinya dilakukan lien. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar